Jakarta, www.beritamadani.com – Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), Paramadina Graduate School of Diplomacy bekerjasama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelenggarakan Diskusi Publik “Pendidikan, Hak Asasi Manusia, dan Peradaban Indonesia”, di Kampus Universitas Paramadina, Sabtu (18/5/24).
“Dunia pendidikan tentu sangat prihatin dengan pernyataan Sekretaris Ditjen Dikti Kemendikbud Ristek bahwa Pendidikan Tinggi adalah bersifat Tersier”, ujar Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban, Dr. Tatok Djoko Sudiarto dalam sambutan resmi pembukaan Diskusi Publik ini.
Benni Yusriza, M.A., Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, Internasional berlaku sebagai moderator dalam Diskusi Publik ini.
Di tengah transisi politik dan semangat kolektif bangsa dalam memperjuangkan visi Indonesia Emas 2045, pembangunan Sumber Daya Manusia seharusnya menjadi kunci transformasi “bonus demokrasi” Indonesia sebagai modalitas utama pembangunan nasional menuju kemajuan peradaban Indonesia dan terhindar dari “middle income trap”.
Kompetisi ekonomi global yang cenderung mengarah pada “ancaman” fragmentasi geo-ekonomi akibat rivalitas kekuatan ekonomi Amerika Serikat versus Tiongkok dan perlambatan ekonomi paska pandemic Covid-19, memerlukan penguatan tata kelola pendidikan nasional khususnya Pendidikan Tinggi sebagai prioritas kebijakan pembangunan manusia Indonesia dalam menjamin pertumbuhan ekonomi keberlanjutan dan berkeadilan berbasis teknologi.
Di sisi lain, kompetisi dan pergeseran geopolitik global yang semakin menguat dengan kecenderungan logika pendekatan “ril politik” paska pecahnya Perang Rusia-Ukraina dan Kebijakan Perang Israel di Gaza yang menegasikan Hak Asasi Manusia dan Kedaulatan Bangsa Palestina, menunjukkan pentingnya kepemimpinan yang berpihak kepada kemanusiaan dan kemajuan peradaban dalam mencari solusi perdamaian.
Ketua KOMNAS HAM Dr. Atnike Sigiro, sebagai narasumber dan juga Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy menekankan bahwa Hak atas Pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia dan bukanlah sebuah keistimewaan. “Pendidikan Tinggi, seringkali dipisahkan dari hak atas pendidikan”, tegas Atnike. “Padahal Hak atas Pendidikan Tinggi, setidaknya memiliki 4 (empat) arti penting, yaitu hak pemberdayaan, hak mobilitas vertikal kelompok marjinal dari kemiskinan, hak atas akses sarana yang diperlukan untuk mewujudkan hak lainnya, dan terakhir hak untuk berkontribusi dalam pengembangan penuh kepribadian manusia”, jelas Atnike lebih lanjut. “Pendidikan Gratis tidak berarti mengabaikan kualitas standar pendidikan”, tegasnya.
Dr. Bima Arya, Wali Kota Bogor 2014-2024 dan juga Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy menekankan pentingnya aspek keberlanjutan dalam setiap kebijakan publik termasuk sektor pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi. “Apakah jumlah 61.271 jiwa penduduk Indonesia dengan latar pendidikan Doktor (S3) atau atau hanya sekitar 0,02 % dari total penduduk Indonesia sekitar 270 juta, sudah cukup menjawab tantangan menuju Indonesia Emas 2045?”, ujarnya. “Di Bogor, penerapan Kebijakan proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui Zonasi seringkali berujung “kisruh” di lapangan akibat tata kelola kewenangan yang lemah”, tegas Bima.
Tata Kelola pendidikan nasional Indonesia yang berkelanjutan merupakan kunci bagi pembangunan Sumber Daya Manusia khususnya dalam mengakomodasi transformasi perubahan karakter antar generasi dan akses terhadap pendidikan berkualitas. “Pembentukan karakter khususnya bagi Generasi Z, pemenuhan jaminan hak atas pendidikan, dan masa depan demokrasi Indonesia, dapat dilakukan melalui penguatan literasi, pendirian museum sebagai bentuk penghormatan, dan penghargaan terhadap Masa Lalu dan aspek keberlanjutan, serta pendirian perpustakaan”, ujar Bima.
Dalam memori peradaban Indonesia, pendidikan merupakan kunci dalam proses pembentukan negara-bangsa Indonesia. Kebijakan politik etis negara kolonial Hindia Belanda telah menyediakan ruang bagi pembentukan kesadaran kolektif atas konstruksi “bangsa” Indonesia melalui pendirian sekolah Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 dan diejawantahkan dalam semangat kolektif lintas identitas suku kedaerahan melalui ikrar kolektif Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928. Rangkaian proses pembentukan kesadaran dan konstruksi identitas bangsa “indonesia” inilah yang diabadikan sebagai memori kolektif bangsa melalui peringatan Hari Kebangkitan Nasional setiap 20 Mei sejak tahun 1959 melalui Keputusan Presiden No. 316 tahun 1959.
Pendirian sekolah Boedi Oetomo merupakan simbol semangat pembentukan peradaban Indonesia baru yang maju dan modern. Nilai utama Boedi Oetomo yang terangkum dalam “Ing ngarso sung tulodo (di depan memberikan contoh), ing madyo mangun karso (di tengah membangun motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan)” merupakan kontribusi buah pemikiran Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Nilai, prinsip, dan jiwa pendidikan Boedi Oetomo ini merumuskan pentingnya proses pendidikan sebagai upaya memerdekakan manusia. Upaya dan proses memerdekakan manusia ini memerlukan sebuah kepemimpinan yang mampu memberikan contoh teladan, memotivasi, dan mendukung. Hari kelahiran Ki Hajar Dewantara pada tanggal 2 Mei 1889 yang juga merupakan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia pertama inilah yang ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional sejak 1959 melalui Keppres yang sama dengan penetapan Hari Kebangkitan Nasional.(PRM)