Jakarta, www.beritamadani.com – Universitas Paramadina kembali menjadi tuan rumah diskusi strategis melalui acara Orasi Kebangsaan: Perjalanan, Tantangan, dan Harapan Pemberantasan Korupsi di Indonesia yang diadakan pada Kamis, 5/12/2024, di Universitas Paramadina Kampus Kuningan, Jakarta. Acara yang dibuka Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini ini merupakan kerjasama Paramadina Public Policy Institute, Paramadina Graduate School of Diplomacy dan Institut Harkat Negeri.
Dalam orasi tersebut, Ahmad Khoirul Umam menyoroti tantangan global pemberantasan korupsi berdasarkan data Transparency International (TI). Dengan skor rata-rata global hanya 43 dari 100, dunia menghadapi stagnasi dalam melawan korupsi. Di Indonesia, demokrasi yang tidak sehat turut memperlemah agenda anti-korupsi, dengan pelemahan institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sorotan utama. “Solusinya membutuhkan political will dari pemimpin tertinggi serta kolaborasi yang erat antara elemen masyarakat sipil untuk menjaga ruang komunikasi yang produktif,” Katanya.
Wijayanto Samirin, akademisi Universitas Paramadina, memaparkan korelasi antara politik dan ekonomi bahwa Pilpres dan Pileg di Indonesia sering kali menjadi ajang money laundering dan Demokrasi yang mahal ini menciptakan ekonomi biaya tinggi. “Sistem politik yang terlalu mahal pada akhirnya membuka celah bagi investor untuk meminta imbalan berupa kebijakan yang berpihak pada mereka,” ujar Wijayanto.
Ia juga menegaskan bahwa formula korupsi, Corruption = Discretion + Monopoly – Accountability tidak sepenuhnya berlaku di Indonesia, karena politik dan bisnis saling berkelindan. “Di Indonesia, demokrasi cenderung terkonsentrasi pada eksekutif. Dengan delapan pimpinan partai politik yang menjadi anggota kabinet, sidang kabinet hampir menyerupai pleno DPR,” tambahnya.
Kevin Evans, Direktur Indonesia untuk Australia-Indonesia Centre, menyoroti kemunduran mekanisme pemberantasan korupsi setelah perubahan UU KPK pada 2019 yang berdampak juga pada kepercayaan internasional dan stabilitas sosial-politik. Ia menekankan pentingnya strategi pencegahan korupsi yang lebih sistematis. “Negara tidak boleh putus asa. Koruptor selalu berharap masyarakat menyerah, tetapi kita harus terus berjuang,” tegasnya.
Saut Situmorang menggambarkan situasi sosial saat ini sebagai kondisi “kandang ayam yang jorok dan bau,” yang menormalisasi perilaku koruptif di masyarakat. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang turun dari 40 menjadi 34 menunjukkan kemunduran signifikan. “Sistem pemberantasan korupsi di Indonesia hendaknya memanfaatkan teknologi digital dan big data, sehingga transparansi dan pengawasan dapat dilakukan lebih efektif dan menyeluruh,” ujar Saut.
Sukidi menyoroti persoalan moralitas bangsa yang kini tengah menghadapi krisis besar. “Bangsa ini telah menjadi nation without soul, tanpa karakter yang kuat. Batas-batas moral antara baik dan buruk, benar dan salah, telah runtuh,” ungkapnya.
Sukidi mengkritisi fenomena intervensi konstitusional yang berpotensi merusak tatanan demokrasi yakni kasus nepotisme yang dilegitimasi oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai contoh nyata dari krisis etika dalam tata kelola negara. “Kita membutuhkan pemimpin yang mampu menahan diri untuk tidak mencampuri urusan institusi lain, demi menjaga integritas demokrasi kita,” tegasnya.
Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri, mengaitkan berbagai permasalahan sosial dengan korupsi. “Bahasa kejujuran kini telah menjadi tabu, sementara para penipu malah dielu-elukan. Ini tanda bahaya bagi bangsa,” ujarnya.
Sudirman Said menambahkan bahwa berbagai persoalan bangsa, seperti kecelakaan infrastruktur, judi online, pinjaman online ilegal, hingga rendahnya kesejahteraan guru, sering kali berakar pada korupsi yang merusak sistem. “Korupsi telah menembus ke seluruh sendi kehidupan, bahkan hingga kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya menggali kearifan lokal Nusantara untuk membangun kembali moralitas bangsa. “Warisan seperti Setyo Budyo dari Serat Wedhatama mengajarkan kesadaran akan kualitas ketuhanan, seperti welas asih, integritas, tanggung jawab, dan rasa malu. Nilai-nilai ini adalah antidote terhadap korupsi,” katanya.
Acara ini diakhiri dengan refleksi penting bahwa pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab bersama. Para pembicara menyerukan penguatan kembali sistem, nilai, dan budaya yang menempatkan integritas di atas segalanya. Universitas Paramadina berkomitmen menjadi ruang diskusi intelektual yang mendukung agenda pemberantasan korupsi demi kemajuan bangsa. (PRM)