

Surabaya, www.beritamadani.com – Pegiat Lintas Budaya Jawa Timur mengadakan Sarasehan dan Diskusi Budaya dengan tema “Pengembangan Management dan Data Base Budaya Daerah” bertempat di Pendopo Petilasan Eyang Yudo Kardono di Jl. Cempaka No. 25, pada Minggu 06 November 2022.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan PASEBAN XI, Komunitas Indigo dan Telepati Surabaya, Patembayan Jawa Dwipa, Paguyuban Mitra Sejati, Padepokan Agung Sejati, Paguyuban Sabda Alam dan lain-lain.
Bagus Empu Batu, Ketum Komunitas Indigo dan Telepati Surabaya menyampaikan, “Tujuan diadakannya sarasehan ini adalah untuk lebih mengenalkan para pegiat budaya dengan dunia teknologi dalam hal ini kemampuan mengemas kegiatan-kegiatan budaya sebagai produk yang layak mendapatkan perhatian dari pemerintah seperti bidang-bidang yang lain saat ini, contohnya adalah UMKM”.
Ki Ageng Jontor Siswanto, Ketum PASEBAN XI menyampaikan, “Seniman atau budayawan di Indonesia sejak lama memang tidak jelas identitasnya atau belum jelas diakui atau tidak, akan tetapi para seniman yang sepakat tetap menjalaninya bersama-sama dengan semangat”.
Mimpi, harapan dan gerakan budaya yang seolah-olah tidak terorganisir saat ini sebenarnya telah mentradisi dan mengakar kuat sejak lama. Hal ini bisa dilihat pada masa sekitar tahun 1286 sd 1293 Masehi, dimana telah lahir sebuah imperium besar yang mampu menguasai 2/3 dunia saat itu yaitu Imperium Majapahit yang lahir dari kita, oleh kita dan untuk kita demi Nusantara adalah gerakan budaya pada masa itu, yang telah nyata dicontohkan oleh para leluhur kita.
“Namun hal ini terlihat seperti utopis dijaman kekinian terutama di kota Surabaya yang semakin hari pembangunan fisiknya tampak menjulang tetapi jiwanya keropos”, lanjut Ki Ageng Jontor Siswanto.


Kalau kita mau kembali pada ajaran Leluhur bahwa sebenarnya akar budaya Nusantara adalah budaya komunal, dimana hal itu tertuang pada konsep ajaran Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa, yang dahulu dilahirkan oleh seorang Ibu muda yang dipersiapkan oleh para eyang leluhurnya untuk membuat konsep bagaimana mempersatukan jiwa raga, bagaimana mempersatukan ide menjadi wujud nyata yaitu sebuah kebudayaan Nusantara. Beliau bernama Kanjeng Ibu Gayatri.
Ketika konsep ini dikembangkan pada saat itu, di era 1286 Masehi, genre politik kekuasaan berpihak pada kaum laki-laki, sehingga walaupun yang menerima wahyu adalah Kanjeng Ibu Gayatri di Alas Ngrawa saat itu, maka untuk pelaksananya haruslah seorang laki-laki. Sehingga perkawinan antara Kanjeng Eyang Raden Wijaya dan Kanjeng Ibu Gayatri adalah perkawinan kebudayaan, perkawinan perbedaan yaitu perkawinan untuk sebuah ide besar, ajaran konsep besar Majapahit yang hendak mempersatukan Nuswantara saat itu.
Dan akhirnya melahirkan salah satunya tokoh besar legendaris dari wilayah Surabaya ini adalah Eyang Yudo Kardono. Beliau adalah satu panglima besar Majapahit pada jaman berikutnya, artinya pada era setelah Majapahit berkembang.
Tetapi tampaknya kita lupa bahwa manajemen saat itu sudah digagas dan sudah hafal diluar kepala. Konsep para leluhur saat itu nyambung antara jiwa dengan jiwa, nyambung antara ruh dengan maha ruh, nyambung manunggaling kawula kalawan Gusti. Jadi nyambung jiwa bahwa sebuah kelahiran bukan sebuah kesia-siaan tapi kita dilahirkan untuk sebuah dharma atau melakukan sesuatu yang bermanfaat walaupun tidak terlihat, tidak diperhatikan sekalipun gerakannya adalah sejiwa dengan perintah dharmanya.
Menjadi tugas kita untuk bagaimana budaya bisa dimaknai sebagai produk. Dari tarian, cara berdoa, ubo rampe, pakaian, makanan dan minuman adalah produk asli budaya leluhur kita yang layak dikembangkan. Minimal oleh kita sebagai pelaku pegiat kebudayaan dimanapun berada.
Mari kita bersama-sama kembali sekali, sekali untuk kembali. Bahwa pada saat itu Eyang Ibu Gayatri dan Eyang Raden Wijaya dan para pinisepuh dari golongan kapitayam dan ideologi yang sangat beda berusaha menanggalkan baju demi kebersamaan. Inilah kemudian yang melahirkan Pancasila yang diperas menjadi Gotong Royong.


Jangan lagi menjadi tangis, jangan lagi menjadi ceceran darah yang tidak bermanfaat karena kita tercerai berai. Mari dengan semangat gotong royong kita mulai karena matahari terbit dari timur kita mulai dari gerakan kebudayaan ini dari timur untuk kembali bersinar ke barat.
Bagus Empu Batu menekankan bahwa tujuan sarasehan budaya ini adalah untuk merapatkan barisan dan mengambil momentum akhir tahun untuk dievaluasi dan untuk disampaikan kepada pihak-pihak baik komunitas maupun pemangku negara. Kebudayaan apabila bangkit dan baik akan membawa kesejahteraan. Tetapi saat ini para pegiat kebudayaan kebanyakan masih belum sejahtera. Hal ini terjadi karena kebudayaan tidak di manage dengan baik. Tidak mempunyai laporan dan database yang baik, padahal kebudayaan mempunyai kontribusi yang besar pada pemerintahan dan negara. Kebudayaan harus bangkit dan mendapatkan fasilitas. Sudah waktunya kita menertibkan database kebudayaan.
Harapan bersama yang telah disepakati forum adalah membentuk Wadah Konsultan Kebudayaan yang di fasilitasi Pemerintah dan berkantor di salah satu Ruang Perkantoran Dinas Pariwisata Jatim, di Surabaya. Di situ akan di Buka KLINIK BUDAYA, searah dengan KLINIK UMKM yang telah ada dan di fasilitasi lebih dulu, oleh Pemprov Jatim. Sehingga semua Agenda kebudayaan di Jatim akan di akomodir dan ditingkatkan “kelas” nya setara dengan bidang BISNIS dan UMKM yang sudah kebih dulu diakui punya kontribusi besar terhadap Negara, Bangsa dan Masyarakat.
“Semangat para pegiat budaya Jatim: Bangkit, Bangkit, Bangkit untuk Nusantara Jaya selamanya” teriak audience saat acara penutupan dan foto bersama. (Maria Veronica)